Minggu, 19 Februari 2012

Buruh dan Konspirasi Globalisasi

Globalisasi atau perdagangan bebas menurut orang-orang yang percaya adalah surga bagi manusia dan tidak dapat dicegah lagi kedatangannya. Bagi dunia industri, globalisasi adalah pintu gerbang untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Bagi beberapa perusahaan besar dunia meraup keuntungan hebat dari Indonesia. Beberapa brand dunia seperti Nike, Adidas, Giordano, GAP dan masih banyal lagi yang lainnya, memiliki pabrik di Indonesia. Itulah gambaran kecil perusahaan besar. Tetapi setelah ditelusuri ternyata dari sisi pekerja pabrik perusahaan besar yang memiliki tempat produksi di Indonesia tidak sama sekali merasakan bahwa mereka bekerja untuk sebuah perusahaan besar yang memiliki keuntungan yang sangat banyak dari apa yang mereka kerjakan di pabrik. Sangat miris keadaan para buruh yang mungkin tidak diberlakukan sebagai manusia dalam bekerja, lebih tepatnya para pekerja di berlakukan sebagai robot yang tidak bisa mengeluh terhadap pekerjaan yang mereka lakukan.
Hidup para  buruh dari perusahaan besar dunia tersebut seperti tidak diperdulikan, mereka hidup sangat serba kekurangan. Bagi mereka para buruh upah rendah, setiap bulan mereka hanya dapat untuk biaya hidup satu bulan. Tetapi apa daya mereka para buruh tidak bisa berbuat apa-apa karena para bos-bos besar mereka mempunyai banyak uang  sehingga bisa membeli sistem hukum di Indonesia. Pemerintah sebenarnya mengetahui nasib para buruh yang semakin mencekik ini. Indonesia menjadi lahan basah bagi para negara kapitalis. Sehingga Pemerintah Indonesia lebih terlihat berpihak kepada orang asing yangt ingin meraup keuntungan di Indonesia. Berbanding terbalik dengan nasib para buruh yang menjadi korban dari kejamnya industri dan globalisasi.
Wacana globalisasi yang pihak barat gembor-gemborkan hanyalah sebuah konspirasi untuk membuat mereka meraup keuntungan melimpah dari pihak yang dapat di bodohi di Indonesia. Globalisasi yang didesain oleh negara-negara maju di eropa yang mengusung tema sentral buruh dan utang luar negeri. Hal ini menjadi wacana bagi dunia industri yang sudah berjalan prosesnya khususnya di Negara Indonesia. Berawal dari runtuhnya pemerintahan Soekarno yang percaya oleh ekonomi kerakyatan yang terkenal dengan sebutan Berdikari ditumbangkan oleh konspirasi Soeharto yang berkoalisi oleh pihak barat dalam hal ini Inggris dan Amerika membuat perjanjian khusus pada Soeharto agar rencana mereka untuk menguasai Indonesia dapat terlaksana dan juga dapat meraih keuntungan yang berlimpah dari negeri yang kaya akan sumber daya alamnya.
Bagi para buruh, globalisasi adalah sistem si kaya dan si miskin yang semakin membuat jurang perbedaan di antara kemajuan industri. Ternyata globalisasi sudah merupakan isu semata, ini terjadi karena krisis dan konflik yang banyak terjadi di Indonesia, semoga saja negara dan bangsa yang besar ini segera bisa keluar dari keadaan yang menjadikan kita tamu di negeri kita sendiri atau sebutan bagi pihak barat globalisasi dan kemajuan industri.


Minggu, 12 Februari 2012

sang - Pengemis

 Akhir-akhir ini di banyak kota, baik kota kecil, besar bahkan kota metropolitan pun tak lepas dari semakin suburnya peminta-minta alias pengemis. Mungkin karena kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan yang membuat mereka terpaksa berprofesi demikian atau memang sebagian dari mereka sudah diwariskan secara turun temurun. Ironis memang kalau Koes Plus bilang dalam lagunya Indonesia tanah air kita diibaratkan kolam susu (saking suburnya).
Tapi sayang oleh penguasa sendiri pun juga masih mewarisi sifat-sifat yang diturunkan dari sebagian nenek moyang dahulu yang punya hobby sebagai pengemis sehingga hutang negara kita pun semakin menggunung alhasil anak-cucu yang menanggungnya.
Betulkah sebagian orang-orang Indonesia  ada yang mempunyai hobby sebagai pengemis..?? , ternyata teka-teki ini ada benarnya kalau dirunut dari sejarahnya dulu, ceritanya begini :
Pada saat itu penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat di pimpin oleh seorang Raja bernama Paku Buwono X, dimana para penguasa pada masa itu memang sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum papa yang tak berpunya terutama menjelang hari Jum’at khususnya pada hari Kamis sore.
Pada hari Kamis tersebut Raja Paku Buwono keluar dari Istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung, perjalanan dari gerbang Istana menuju Masjid Agung tersebut ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor (alun-alun utara), sambil berjalan kaki tentunya diiringi para pengawal sang raja, rupanya di sepanjang jalan sudah dielu-elukan oleh rakyatnya sambil berjejer rapi di kanan-kiri jalan dan sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang pemimpinnya.
Pada saat itulah sang raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang tanpa ada satupun yang terlewatkan dengan kebiasaan berbagi-bagi berkah tersebut mungkin juga warisan para penguasa sebelumnya (sebelum Paku Buwono X), ternyata kebiasaan tersebut berlangsung setiap hari Kamis (dalam bahasa jawanya Kemis), maka lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah dihari Kemis dan diistilahkan dengan sebutan NGEMIS (kata ganti untuk sebutan pengguna/pengharap berkah dihari Kemis) dan pelaku-pelakunyapun biasa disebut Pengemis (Pengharap berkah pada hari Kemis).[1]
Namun kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa kata bahasa Indonesia yang tentunya kata dasarnya bukan emis tapi Kemis (Kamis), ternyata sebutan peminta-minta kalah populer dengan istilah pengemis padahal kata pengemis kalau diurai dan diambil dari kata dasarnya yakni kemis atau emis mungkin tidak dikenal dalam kosa kata bahasa indonesia kecuali kalau ada tambahan awalan pe sehingga muncul istilah “Pengemis”. Lain halnya dengan kata peminta-minta kata dasarnya adalah minta yang artinya jelas bahkan bisa berdiri sendiri tanpa ada awalan pe.
Jadi kalau boleh disimpulkan asal muasal kata atau perkataan pengemis berasal dari Surakarta atau Solo.




[1] Buku Khasanah Bahasa dalam kata per-kata ( Prof Gorris Keeraf)
foto by google

Rabu, 08 Februari 2012

Keluarga Besar Aidit ; Sesudah Malam Horor itu

Dari sebuah keluarga yang sentosa, keluarga D.N. Aidit luluh-lantak setelah horor 30September 1965. Anak dan istri pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) itu cerai-berai. Ada yang masuk penjara, ada yang dibuang ke Pulau Buru. Dua anak gadisnya menjadi eksil dan berpindah dari satu negara ke negara lain.

Abdullah Aidit (Ayah D.N. Aidit); Jenazahnya Membusuk Tiga Hari
Malam 30 September 1965, Abdullah menginap di rumah D.N. Aidit di Jalan Pegangsaan Barat 4, Jakarta Pusat.  Dia melihat anak sulungnya, D.N. Aidit, dibawa pergi tiga orang tentara bersama pengawal pribadi bernama Kusno.  Pada 1965 itu, Abdullah sudah pindah dari Belitung ke Jakarta karena menjadi DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia. Banyak orang mengira dia wakil dari Masyumi karena saat itu ada dua anggota Dewan dengan nama yang mirip. Yang satu dari Masyumi bernama Aidid, yang lain Abdullah Aidit yang ke Senayan karena kiprahnya dalam organisasi Nurul Islam.
D.N. Aidit tak kunjung pulang, demikian pula dengan Soetanti, istrinya, yang pergi tanpa pamit. Abdullah lalu mengasuh tiga cucunya: Iwan, Irfan, dan Ilham. Beruntung, di   melihat massa yang beringas datang ke rumah. ”Mereka berteriak-teriak dan melempar rumah kami,” kata Ilham Aidit kepada Tempo. Kejadian itu berlangsung pada hari ditemukannya jenazah lima jenderal di Lubang Buaya. Abdullah kerap membesarkan hati cucu-cucunya, ”Sebentar lagi ayah dan ibu kalian datang menjemput.”
Tiga anak laki Aidit itu kemudian diangkut seorang paman ke Kebayoran, Jakarta Selatan. Menurut Murad Aidit, putra bungsu Abdullah Aidit, ayahnya kemudian terbang ke Belitung atas bantuan Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh.  Tiga tahun menetap diBelitung,  Abdullah jatuh sakit. Dia akhirnya meninggal ketika rumah itu kosong karena Marisah, istri kedua Abdullah, tengah menginap di rumah saudaranya. Tetangga sekitar jarang ke rumah itu, takut terkena getah G30S. Karena tak ada yang mengurus,  jenazahAbdullah membusuk tiga hari.



Basri Aidit (Adik D.N. Aidit); Jadi Tukang Kebun di Bogor
Nasib Basri memang paling apes. Peristiwa 30 September 1965 meletus cuma beberapa hari setelah dia pindah kerja di kantor Comite Central PKI di Kramat, Jakarta Pusat. Sebelumnya dia adalah pegawai rendahan di kantor Dinas Pekerjaan Umum Tanah Abang. Bekerja di kantor PKI, Basri gampang dikenali. Sehari setelah pembunuhan para jenderal, ia dibekuk bersama sejumlah orang PKI lainnya. Ia ditahan di penjara Kramat, kemudian pada1969 dibuang ke Pulau Buru.Selama sang ayah di pembuangan, anak-istrinya menjual habis barang di rumah untuk bertahan hidup.
Setelah semuanya ludes, hidup keluarga ini amat bergantung pada bantuan saudara, kenalan, dan teman. Basri keluar dari Buru pada 1980. Atas bantuan keluarganya di Belitung, dia bisa membeli sebuah rumah di Bogor, Jawa Barat. Di sana dia berkebun sambil mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak tetangga. Ketika meninggal dunia, dia cuma mewariskan uang Rp 2,5juta kepada anak cucunya.



Murad Aidit (Adik D.N. Aidit); Diisolasi di Unit 15
Seperti saudara-saudaranya yang lain, Murad datang ke Jakarta setelah tamat sekolahmenengah zaman Belanda. Karena ikut D.N. Aidit sejak remaja, Murad banyak mengenal teman Aidit yang aktif di Menteng 31, asrama mahasiswa zaman itu.Lulusan fakultas ekonomi dari Universitas Lumumba Moskow ini berkawan dengan banyak sastrawan. Penyair Chairil Anwar adalah sohib kentalnya.  Akibat kurang gizi dan makan tak teratur selama ikut Tentara Pelajar, dia sempat menderita TBC dan diopname enam tahun.
Pada saat peristiwa 30 September 1965, Murad menginap di rumah D.N. Aidit. Sebelum pergi dengan tiga orang tentara yang menjemputnya, Aidit cuma memberikan pesan singkat kepada Murad, ”Matikan lampu depan.”Esok harinya, ketika kembali ke rumahnya di Depok, Murad baru tahu bahwa sejumlah jenderal dibunuh dan PKI dituduh terlibat. Tapi dia tidak berusaha sembunyi. Di tengah kegentingan situasi Jakarta saat itu, dia sempat datang ke kantor PKI. Markas yang biasanya meriah itu sunyi senyap. Murad ditangkap beberapa hari kemudian.
Sebagaimana anggota PKI lainnya, Murad dipenjara berpindah-pindah. Semula ditahan diBogor, setelah itu di Bandung, lalu ke rumah tahanan khusus di Salemba, Jakarta. Pada 1971 Murad dibuang ke Pulau Buru. Di pembuangan itu dia diisolasi di Unit 15. Ini unit khusus untuk menahan petinggi PKI dan mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno belajar ke luar negeri. Murad bebas pada
1979. Istrinya, Noer Cahya, meninggal tak lama setelah bebas dari penjara wanita Pelantungan, Kendal, Jawa Tengah. Murad kemudian menikah lagi dengan Lilik Hartini.Kini keduanya tinggal di Depok dan hidup dari pekerjaan menerjemahkan buku.


Sobron Aidit (adik tiri Aidit); Hingga Wafat di Paris
Sejak remaja Sobron suka sastra. Kegemaran itu kian menyala setelah dia datang ke Jakarta pada 1948 dan bertemu dengan Chairil Anwar. Kebetulan Chairil adalah teman Murad dank erap bermalam di kos Murad di Gondangdia, Jakarta Pusat. Dari Chairil, juga sastrawan lain seperti Rivai Apin, Asrul Sani, dan H.B. Jassin, Sobron menimba banyak ilmu. Dibantu  Chairil, puisi Sobron ketika itu muncul di Mimbar Indonesia.  Saat itu usia Sobron baru 13 tahun.
Malam setelah sajak itu dimuat, Chairil mentraktirnya makan-makan. Sobron menyantap soto, empal, nasi campur, dan rupa-rupa lauk. Sesudah makan, Sobron baru tahu bahwa uang makan adalah honor puisinya di Mimbar Indonesia. Ketika peristiwa G30S meletus, Sobron berada di Beijing untuk mengajar bahasa Indonesia. Tapi kontrak tak diperpanjang akibat peristiwa itu. Dia kemudian menjadi petani di negeri tirai bambu itu dan menikahi gadis setempat. Sempat menjadi penyiar dan redaktur Radio Beijing, pada 1981 ia pindah ke Paris.
Bersama eksil lainnya, J.J. Kusni dan Umar Said, Sobron mendirikan Restoran Indonesia di Rue deVaugirard, di kawasan Luxembourg, Paris. Sobron meninggal pada Februari 2007 karena penyumbatan darah di otak. Buku terakhirnya, Razia Agustus, terbit pada November lalu.






Asahan Aidit (adik tiri Aidit); Jatuh Cinta pada Gadis Vietnam
Saat peristiwa 30 September meletus, Asahan sedang di Moskow. Di ibu negeri beruang merah itu, Asahan sedang memperdalam studi filologi. Mendengar sanak familinya di Indonesia diuber-uber, Asahan enggan pulang. Dia kemudian pergi ke Cina. Dari sana Asahan pindah ke Vietnam dan meraih gelar doctor dalam bidang bahasa di sana. Dia menikahi gadis Vietnam. Pada 1984 dia mendapat suaka politik di Belanda dan tinggal di sana hingga sekarang. Anak tunggalnya meninggal secara misterius dan dikuburkan di Inggris beberapa tahun lalu.
Asahan termasuk dekat dengan Dipa Nusantara, abangnya. Ia, misalnya, satu-satunya adik Aidit yang pernah naik mobil dinas menteri koordinator bernomor B 13. Kalau Aidit harus bekerja hingga larut, Asahan yang ”disewa” untuk memutar musik-musik klasik. Aidit biasanya minta diputarkan Symphony No. 3 Beethoven.


Dokter Soetanti (Istri Aidit) ; Menyamar Jadi Istri Orang
Malam 30 September 1965, Soetanti bertengkar keras dengan D.N. Aidit. Tanti ingin suaminya tetap tinggal di rumah dan tidak mengikuti kemauan para penjemputnya. TetapiAidit memilih pergi.Tiga hari setelah malam kelabu itu, Tanti menghilang dari rumah meninggalkan tiga anak lakinya yang masih kecil. Belakangan baru terungkap, Tanti menyusul suaminya  ke Boyolali dan bertemu Bupati Boyolali yang juga tokoh PKI. Tak lama di Boyolali, dia kembali ke Jakarta dengan cara menyamar. Tanti dan Pak Bupati itu pura-pura menjad isuami-istri. Agar aksi penyamaran ini sukses, ”Dua orang bocah kemudian diambil sebagai anak angkat,” kata Ilham aidit.
”Suami-istri” ini kemudian mengontrak sebuah rumah di Cirendeu, Jakarta. Sandiwara itu sukses berbulan-bulan, sampai akhirnya para tetangga curiga karena Pak Bupati ini selalu bilang ”injih-injih” kepada istrinya. Sikap dua anak angkat juga mencurigakan. ”Mereka tidak pernah manja kepada dua orang tuanya,” kata Ilham. Dari situ, keduanya ditangkap.
Soetanti bukan wanita biasa. Kakeknya, Koesoemodikdo, adalah Bupati Tuban yang pertama. Menolak untuk meneruskan jabatan sang bapak, ayah Tanti, Moedigdo, memilih merantau ke Medan. Ibu Tanti, Siti Aminah, adalah keturunan ningrat Minang dan teman sekolah Sutan Syahrir.Tanti masuk sekolah kedokteran di Semarang atas biaya R.M Susalit, saudara sepupu ayahnya, yang juga putra tunggal R.A. Kartini. Setelah menikah dengan Aidit, Tanti memperdalam ilmu kedokterannya di Korea dan menjadi dokter ahli akupunktur yang pertama di Indonesia.Setelah ditangkap, Tanti berpindah dari satu penjara ke penjara lainnya hingga 1980. Diantaranya tahanan Kodim 66 dan Penjara Bukit Duri.
Dalam sel ia kerap membuat baju untuk anaknya meski salah ukuran: dia selalu menduga anak-anaknya masih kecil. ”Begitu dipakai, bajunya kekecilan,” kata Ilham.Sekitar 16 tahun Soetanti tidak berjumpa anaknya. Soalnya,  paman yang memelihara bocah-bocah itu tak berani membawa mereka menjenguk ibunya di Bukit Duri. Lepas dari penjara Tanti masih sempat berpraktek sebagai dokter. Setelah sembilan tahun sakitsakitan,Tanti wafat pada 1991.




Ibarruri Putri Alam dan Ilya Aidit (dua putri D.N. Aidit); Memilih Berlabuh di Paris
Keduanya terakhir bertemu sang ayah ketika berlibur ke Jakarta pada Mei-September 1965. Ada yang aneh dari liburan kali ini. Sang ayah, kata Ibarruri, kerap menatap anak sulungnya itu secara sembunyi-sembunyi.  ”Seperti ada sesuatu dalam tatapannya itu,” kata Iba. Bersama ibunya, Iba sudah menginjakan kaki di Moskow, Rusia, pada 1958. Ketika itu masih remaja. Setahun kemudian Ilya yang baru berumur  delapan tahun menyusul. 
Setelah peristiwa G30S, lama kedua remaja itu tak tahu keadaan keluarga. Di koran beredar informasi rupa-rupa: ada yang menulis Aidit telah mati. Ada yang bilang ayah kedua emaja melarikan diri ke Hong Kong dengan kapal selam.Belakangan, seorang utusan dari Partai Komunis Soviet menemui mereka dan mengabarkan bahwa sang ayah telah ditembak. Koran-koran mengabarkan Aidit ditembak mati di Boyolali, 23 November 1965.Dua gadis itu kemudian berkelana dari suatu negara ke negara lain. Pada 17 Februari 1970 mereka pindah ke Beijing, Cina. Dari situ mereka ke Burma, sebelum akhirnya menetap di Paris hingga sekarang.

Iwan Aidit dan si Kembar Ilham dan Irfan ; Hampir Ditembak, Disapa Sarwo Edhie
Setelah sang ayah pergi  pada malam 30 September 1965,  dan sang ibu menghilang beberapa hari kemudian, Iwan, Ilham dan Irfan dijaga Abdullah Aidit, kakeknya.  Saat itu mereka bersekolah di SD Cikini. Ilham dan Irfan kelas satu,  sedangkan Iwan kelas enam. Tiga anak ini kemudian  dijemput  Om Bayi, adik lelaki Soetanti yang bekerja sebagai
direktur perusahaan  pelayaran Djakarta Lloyd. Dari rumah pamannya di Kebayoran itu ketiga anak itu dipindahkan ke Bandung dan menetap di rumah Paul Mulyana, saudara lain ibu mereka. Setelah Paul pindah ke Belanda untuk meneruskan kuliah, tiga bocah ini pindah ke rumah saudara Paul lainnya bernama Yohanes Mulyana. Sepuluh tahun mereka tinggal bersama keluarga itu. Mereka sekolah di SMP Aloysius, Bandung.
Ihlam selalu teringat akan pengalaman menggetarkan ini. Ketika usianya 9 tahun, empat orang petugas datang ke rumah Yohanes dan bertanya betulkah dia memelihara anak-anak Aidit. Yohanes mengangguk. Tuan rumah ini mengajak petugas itu ke halaman di mana Ilham dan Irfan tengah mainkelereng. Mengetahui dua anak itu masih kecil-kecil, dua petugas itu menyarungkan pistol dan berlalu. ”Aku betul-betul gemetar,” kenang Ilham. ”Kami selamat karena umur.”Beruntung, Iwan yang sudah agak besar tidak di tempat.
Ketika sekolah di SMA Kanisius, Ilham kerap berkelahi karena sering diejek sebagai anakD.N. Aidit. Seorang rohaniwan Katolik, M.A. Brouwer, yang mengajar di sekolah,menasehatinya agar tabah. ”Yang penting sekolah setinggi mungkin. Itu membuat kehidupan lebih baik,” kata Brouwer sebagaimana dikisahkan Ilham. Dari Brouwer dia tahu bahwa ada versi lain soal peristiwa 30 September itu. Irfan, sebaliknya, melewati hari-hari itu dalam diam. Ilham kemudian kuliah di Jurusan Arsitek Universitas Parahyangan, Bandung, Irfan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Iwan di Institut Teknologi Bandung. Ilham gemar mendaki gunung dan menjadi anggota kelompok pecinta alam Wanadri. Disitu dia mengenal Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukankhusus yang membasmi PKI pasca-G30S.  Sarwo Edhie adalah anggota kehormatan Wanadri. Menurut Ilham, ia bertemu pertama kali dengan Sarwo Edhie pada 1981, sewaktu dia dilantik menjadi anggota Wanadri. ”Aku didekap sama dia. Tidak lama, hanya belasan detik,” kata Ilham.Pertemuan kedua berlangsung pada 1983 dalam sebuah acara pelantikan anggota baru Wanadri di Kawah Upas, Tangkuban Perahu. Saat itu Ilham menjadi komandan operasi pendidikan dasar Wanadri. Sekitar pukul 6.30 pagi, Sarwo Edhie mendatanginya. ”Kamu sekarang jadi apa nih?” tanya Sarwo. Ilham memberitahukan bahwa dia sudah jadi kepalao perasi. ”Bagus,” sahut Sarwo Edhie.
Sarwo Edhie kemudian meminta waktu berbicara berdua. Mereka menyingkir ke tebing Kawah Upas. Sarwo Edhie bertanya tentang kabar dan kuliah Ilham. ”Aku jawab lancar,meski sebenarnya tidak begitu lancar,” tutur Ilham sembari tertawa. Sarwo Edhie lalu berkisah tentang peristiwa 30 September 1965 itu. ”Kamu bisa menerima ini kan?” kata Sarwo. Sarwo,  kata Ilham, tidak meminta maaf. Tapi Ilham lega. ”Ini bentukr ekonsiliasi yang lengkap,” katanya.Lulus jadi arsitektur pada 1987, persis ketika pemerintah gencar melakukan screening terhadap anak-anak mantan anggota PKI. Sang kakak, Iwan, dikeluarkan dari sebuah perusahaan ternama setelah diketahui anak PKI.
Adapun Ilham selalu pindah kerja. ”Begitu mereka tahu aku anak Aidit, mereka membuat aku tidak betah supaya keluar.” Sejak 1992,Ilham lalu membuka usaha sendiri di bidang arsitektur.Sejak dua tahun lalu Ilham menetap di Bandung setelah tinggal di Bali selama 10 tahun. Diajuga kerap bolak-balik ke Aceh, ikut serta dalam proses rekonstruksi Aceh pasca-tsunami.Irfan kini menetap di Cimahi, Jawa Barat, sedangkan Iwan menjadi warga negara Kanada dan bekerja di sebuah perusahaan pertambangan. Pada 1980 ketiga anak laki-laki itu
bertemu sang ibunda dan mendapat kontak dengan Iba dan Ilya di Paris.









Sumber : Dua Wajah Dipa Nusantara,  Serial Buku Tempo
Foto powered by google