Dandanan
mentereng, rumah, dan mobil mewah agaknya sudah menjadi gaya hidup para pejabat
saat ini. Dengan fasilitas yang diberikan, bukan hal yang sulit untuk bergaya
hidup mewah. Belum lagi deretan kasus korupsi yang tak pernah kunjung selesai.
Uang Negara yang dirampok oleh para koruptor. Melihat fenomena seperti
ini, masyarakat kembali merindukan
figur-figur pemimpin yang sederhana dan pantas untuk dijadikan teladan. Salah
satunya terdapat pada sosok Mohammad Hatta, sang proklamator, Bapak Koperasi,
yang juga mahir dalam urusan diplomasi.
Sejak kecil,
Bung Hatta sudah dikenal hemat dan suka menabung. Akan tetapi, uang tabungannya
itu selalu habis untuk keperluan sehari-hari dan membantu orang yang
memerlukan. Kita sering mendengar atau menemukan artikel di Internet tentang
kisah Bung Hatta yang tidak mampu membeli sepatu Bally. Pada tahun 1950-an,
Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung
Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Bung Hatta berusaha
menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang
tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi, karena selalu terambil untuk
keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang
datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally
idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah
mencukupi.
Tidak bisa dibayangkan, seorang yang pernah
menjadi nomor 2 di negeri ini tidak pernah bisa membeli sepasang sepatu. Mimpi
itu masih berupa guntingan iklan sepatu Bally yang tetap disimpannya dengan
rapi hingga wafat pada 1980. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan
iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi
saksi keinginan sederhana dari seorang Bung Hatta. Padahal, jika ingin
memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk
memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta
besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun,
di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk
kepentingan sendiri
dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama,
ia
lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Keteladanan
Bung Hatta, seharusnya dapat ditiru sebagian besar pejabat kita yang terkadang
memanfaatkan jabatan untuk mengeruk kekayaan. Bung Hatta meninggalkan teladan
besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta
hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau
belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada
orang lain.
Seandainya
bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan
ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan
sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat dan
nista karena tradisi berutang serta meminta pinjaman dari orang asing.
Kisah
Bung Hatta dan sepatu Bally, memberikan pelajaran kepada kita agar kita selalu
senantiasa bersikap sederhana dalam berbagai kesempatan. Meskipun kita sudah
memegang jabatan. Sikap sederhana harus selalu senantiasa dijunjung tinggi.
Para pemimpin sering mendapat sorotan yang tajam dari media, karena tidak
sedikit pejabat yang memanfaatkan jabatan untuk mengeruk kekayaan, bergaya
hidup mewah tanpa memperdulikan nasib rakyatnya yang hidup sengsara dalam
kemiskinan.
Namun
tidak semua pemimpin bergaya hidup mewah. Mendapat gelar sebagi orang terkaya
atau Presiden dengan pendapatan tinggi adalah sesuatu hal yang biasa. Tetapi
apa jadinya jika seseorang mendapat predikat sebagai presiden termiskin di
dunia. Sebagian besar politisi di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia, biasanya memiliki gaya hidup yang berbeda 180
derajat dengan rakyat pemilihnya. Tinggal di rumah mewah, pakaian mahal, mobil
mewah, pengawalan yang ketat dan gaji besar. Namun, semua hal itu tidak berlaku
bagi Presiden Uruguay, Jose Mujica. Sejak dilantik menjadi presiden pada 2010
lalu, politisi berusia 77 tahun ini layak mendapat gelar presiden termiskin di
dunia.
Pria bernama lengkap José Alberto Mujica Cordano ini
mendonasikan 90 persen gajinya setiap bulan, yaitu 12.000 dollar AS atau hampir
Rp 120 juta, untuk berbagai kegiatan amal. Dengan mendonasikan sebagian besar
gajinya untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil, maka setiap bulan Mujica hanya
menerima kurang dari Rp 800.000. Pada 2010, ketika kekayaan pribadinya
diumumkan, total kekayaan Mujica hanya 1.000 dollar AS atau kurang dari Rp 10
juta. Uang sebanyak itu hanya bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil VW
Beetle keluaran 1987. Setelah dua tahun menjadi presiden, kekayaan Mujica
memang bertambah. Itu pun setelah dia menambahkan aset milik istrinya berupa
tanah, beberapa traktor, dan sebuah rumah. Kekayaannya mencapai 215.000 dollar
AS atau sekitar Rp 2 miliar, masih terbilang miskin untuk seorang kepala
negara. Bahkan, kekayaan Wapres Daniel Astori dua pertiga kali lebih besar
ketimbang orang nomor satu di negeri juara dunia sepak bola pertama kali itu.
Tak hanya itu, pria yang oleh kawan-kawannya dipanggil Pepe
ini juga menolak tinggal di kediaman resmi kepresidenan di ibu kota,
Montevideo. Mujica lebih memilih tinggal di tanah pertanian di luar ibu kota.
Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal.
Tidak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya.
Tidak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya.
Bekas
pemberontak
Apa penyebab Mujica begitu miskin? Ternyata, selama 1960-an
sampai 1970-an, dia adalah anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata
berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba. Dia pernah enam kali tertembak
dan mendekam 14 tahun di penjara. Sebagian besar masa penahanannya dilalui
dalam kondisi yang sangat buruk dan dalam sel isolasi. Namun, masa-masa dia
dalam penjara itulah yang menurut Mujica membentuk kepribadian dan pandangan
hidupnya.Ini adalah masalah kebebasan. Menurutnya ia
cukup dengan jumlah itu. karena banyak orang Uruguay yang hidup dengan lebih
sedikit dari jumlah itu. Mujica dan istrinya, yang seorang senator, tinggal di
sebuah peternakan di Montevideo. Pengeluaran terbesarnya adalah untuk membeli
mobil Volkswagen Beetle seharga $1.945 atau Rp 18,5 juta. Tanpa kekayaan, rekening
bank dan bahkan sedikit hutang, Mujica mengatakan masih bisa tidur tenang.
Mantan pejuang gerilya
itu terpilih sebagai presiden pada 2010, sebagai anggota dari koalisi sayap
kiri. Di bawah pimpinannya, Uruguay menjadi salah satu negara dengan tingkat
korupsi terendah di Amerika Selatan.
Bersikap sederhana
sudah sepatutnya diterapkan oleh semua pemimpin, terlebih di Indonesia.
Pemimpin seharusnya bisa menjadi
tauladan yang baik kepada rakyatnya untuk tidak bergaya hidup mewah. Sehingga
tidak terjadi kesenjangan sosial yang amat jauh antara pemimpin dengan
rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar