Jumat, 23 November 2012

Belajar dari Hatta dan Mujica


Dandanan mentereng, rumah, dan mobil mewah agaknya sudah menjadi gaya hidup para pejabat saat ini. Dengan fasilitas yang diberikan, bukan hal yang sulit untuk bergaya hidup mewah. Belum lagi deretan kasus korupsi yang tak pernah kunjung selesai. Uang Negara yang dirampok oleh para koruptor. Melihat fenomena seperti ini,  masyarakat kembali merindukan figur-figur pemimpin yang sederhana dan pantas untuk dijadikan teladan. Salah satunya terdapat pada sosok Mohammad Hatta, sang proklamator, Bapak Koperasi, yang juga mahir dalam urusan diplomasi.

Sejak kecil, Bung Hatta sudah dikenal hemat dan suka menabung. Akan tetapi, uang tabungannya itu selalu habis untuk keperluan sehari-hari dan membantu orang yang memerlukan. Kita sering mendengar atau menemukan artikel di Internet tentang kisah Bung Hatta yang tidak mampu membeli sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Bung Hatta berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.  Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi, karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi.
 Tidak bisa dibayangkan, seorang yang pernah menjadi nomor 2 di negeri ini tidak pernah bisa membeli sepasang sepatu. Mimpi itu masih berupa guntingan iklan sepatu Bally yang tetap disimpannya dengan rapi hingga wafat pada 1980. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Bung Hatta. Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally.  Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta.
Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.  Keteladanan Bung Hatta, seharusnya dapat ditiru sebagian besar pejabat kita yang terkadang memanfaatkan jabatan untuk mengeruk kekayaan. Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.

Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat dan nista karena tradisi berutang serta meminta pinjaman dari orang asing.
Kisah Bung Hatta dan sepatu Bally, memberikan pelajaran kepada kita agar kita selalu senantiasa bersikap sederhana dalam berbagai kesempatan. Meskipun kita sudah memegang jabatan. Sikap sederhana harus selalu senantiasa dijunjung tinggi. Para pemimpin sering mendapat sorotan yang tajam dari media, karena tidak sedikit pejabat yang memanfaatkan jabatan untuk mengeruk kekayaan, bergaya hidup mewah tanpa memperdulikan nasib rakyatnya yang hidup sengsara dalam kemiskinan.
Namun tidak semua pemimpin bergaya hidup mewah. Mendapat gelar sebagi orang terkaya atau Presiden dengan pendapatan tinggi adalah sesuatu hal yang biasa. Tetapi apa jadinya jika seseorang mendapat predikat sebagai presiden termiskin di dunia. Sebagian besar politisi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, biasanya memiliki gaya hidup yang berbeda 180 derajat dengan rakyat pemilihnya. Tinggal di rumah mewah, pakaian mahal, mobil mewah, pengawalan yang ketat dan gaji besar. Namun, semua hal itu tidak berlaku bagi Presiden Uruguay, Jose Mujica. Sejak dilantik menjadi presiden pada 2010 lalu, politisi berusia 77 tahun ini layak mendapat gelar presiden termiskin di dunia.
Pria bernama lengkap José Alberto Mujica Cordano ini mendonasikan 90 persen gajinya setiap bulan, yaitu 12.000 dollar AS atau hampir Rp 120 juta, untuk berbagai kegiatan amal. Dengan mendonasikan sebagian besar gajinya untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil, maka setiap bulan Mujica hanya menerima kurang dari Rp 800.000. Pada 2010, ketika kekayaan pribadinya diumumkan, total kekayaan Mujica hanya 1.000 dollar AS atau kurang dari Rp 10 juta. Uang sebanyak itu hanya bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil VW Beetle keluaran 1987. Setelah dua tahun menjadi presiden, kekayaan Mujica memang bertambah. Itu pun setelah dia menambahkan aset milik istrinya berupa tanah, beberapa traktor, dan sebuah rumah. Kekayaannya mencapai 215.000 dollar AS atau sekitar Rp 2 miliar, masih terbilang miskin untuk seorang kepala negara. Bahkan, kekayaan Wapres Daniel Astori dua pertiga kali lebih besar ketimbang orang nomor satu di negeri juara dunia sepak bola pertama kali itu.

Tak hanya itu, pria yang oleh kawan-kawannya dipanggil Pepe ini juga menolak tinggal di kediaman resmi kepresidenan di ibu kota, Montevideo. Mujica lebih memilih tinggal di tanah pertanian di luar ibu kota. Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal.
Tidak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya.

Bekas pemberontak
Apa penyebab Mujica begitu miskin? Ternyata, selama 1960-an sampai 1970-an, dia adalah anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata berhaluan kiri yang terinspirasi revolusi Kuba. Dia pernah enam kali tertembak dan mendekam 14 tahun di  penjara. Sebagian besar masa penahanannya dilalui dalam kondisi yang sangat buruk dan dalam sel isolasi. Namun, masa-masa dia dalam penjara itulah yang menurut Mujica membentuk kepribadian dan pandangan hidupnya.Ini adalah masalah kebebasan. Menurutnya ia cukup dengan jumlah itu. karena banyak orang Uruguay yang hidup dengan lebih sedikit dari jumlah itu. Mujica dan istrinya, yang seorang senator, tinggal di sebuah peternakan di Montevideo. Pengeluaran terbesarnya adalah untuk membeli mobil Volkswagen Beetle seharga $1.945 atau Rp 18,5 juta. Tanpa kekayaan, rekening bank dan bahkan sedikit hutang, Mujica mengatakan masih bisa tidur tenang. 

Mantan pejuang gerilya itu terpilih sebagai presiden pada 2010, sebagai anggota dari koalisi sayap kiri. Di bawah pimpinannya, Uruguay menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di Amerika Selatan.
Bersikap sederhana sudah sepatutnya diterapkan oleh semua pemimpin, terlebih di Indonesia. Pemimpin  seharusnya bisa menjadi tauladan yang baik kepada rakyatnya untuk tidak bergaya hidup mewah. Sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang amat jauh antara pemimpin dengan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar